Film Pertama Indonesia
Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film bisu ini dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).
Tentang Lutung Kasarung
Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah cerita pantun yang mengisahkan legenda masyarakat Sunda tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung bertemu dengan putri Purbasari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang pendengki, Purbararang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purbasari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama.
Cerita pantun Lutung Kasarung dijadikan bahan disertasi oleh F. S. Eringa yang dibukukan pada tahun 1949.
Film Information
Titles : LOETOENG KASAROENG
Main Director : L. HEUVELDORP
Year : 1927
Actors : MARTOANA, OEMAR
Directors : L. HEUVELDORP
Director Of : G. KRUGERS
Photography
http://id.wikipedia.org/wiki/Lutung_Kasarung
Jumat, 29 Oktober 2010
Film pertama di Indonesia
Film Bisu / Warna
Film negatif warna adalah jenis film berwarna yang menghasilkan negatif (klise) dengan gambar yang warna komplemennya berasal dari warna-warna yang terdapat pada obyek. Obyek warna merah akan membentuk cyan (hijau biru) pada film, warna hijau akan terbentuk warna magenta (merah biru), sedangkan obyek warna biru akan terbentuk warna kuning pada film. Dari negatif ini dapat dicetak menjadi foto-foto berwarna (gambar positif).
Yang dimaksud dengan film bisu (silent film) adalah film yang dibuat tanpa menggunakan perekaman suara terutama dalam dialog. Penonton “dipaksa” untuk memahami alur cerita itu melalui gerakan tubuh dari pemain film dan tulisan yang muncul disela-sela gambar seperti layaknya baca komik dyang isinya beberapa dialog dari film tersebut.
Sedangkan ilustrasi musik film tersebut dimainkan secara langsung bersamaan dengan diputarnya film, biasanya secara solo (hanya terdapat pemain piano/organ) atau sebuah mini orkestra. Mereka memainkan irama musik itu disesuaikan dengan adegan-adegan yang nampak pada layar, jadi bisa dibayangkan betapa repotnya untuk menonton atau mempertunjukkan sebuah film pada era film bisu hehehehe….
http://misteridigital.wordpress.com/2010/10/12/film-bisu/
Sejarah Pita Seluloid
Bila ditinjau dari bahannya, seluloid adalah sejenis plastik yang berbahan nitroselulosa. Karena itu bahan ini jadi mudah terbakar, bahkan kecepatan bakarnya lebih cepat dari kertas. Seluloid ditemukan pada tahun 1868. Selain pada pita film, bahan ini bisa ditemukan juga pada film untuk kamera foto dan bola pingpong.
Dalam penggunaannya, pita seluloid tidak bisa merekam gambar secara langsung, diperlukan media rekam lain yaitu DAT (Digital Audio Tape) untuk melakukan perekaman gambar. Dalam industri film, Anda mengenal beberapa jenis pita film seluloid, meski sebenarnya bila membicarakan ukuran pita seluloid, maka pembicaraan juga kerhubungan dengan tipe kameranya, karena pita seluloid memerlukan kamera khusus untuk mengoperasikannya.
Pita 8 mm
Pita ini dibuat untuk kamera khusus yang dikembangkan oleh Eastman Kodak pada tahun 1932 dengan tujuan bagi para pengguna rumahan. Maka dari itu produksi film dengan pita 8 mm dihitung lebih murah daripada ukuran yang lain.
Ukuran 8 mm itu mengacu pada jarak diagonal tiap frame pita. Rata-rata pita film seluloid jenis ini mampu merekam antara 3 -5 menit, dan bergerak pada kecepatan 12, 15, 16, dan 18 frame per detik.
Pita 16 mm
Pita ini juga digunakan untuk kamera yang dibuat oleh Eastman Kodak pada tahun 1923. Ternyata proses film dengan pita ini cukup disukai oleh para pembuat film, terutama yang anggaran dananya ketat. Ukuran 16 mm itu mengacu pada jarak diagonal tiap frame pita.
Sementara itu di Indonesia, penggunaan pita film inilah yang banyak ditemukan. Variasi lain dari pita ini adalah ukuran Super 16 mm. Perbedaannya hanyalah ukuran diagonal framenya yang lebih besar dari pita 16 mm.
Pita 35 mm
Pita ini ditemukan oleh William Dickson dan Thomas Edison. Inilah jenis pita yang menjadi favorit banyak pekerja film dan menjadi standar industri film saat ini. Terutama karena kualitas gambar pita jenis ini masih jadi yang terbaik dibanding jenis lain.
Ukuran pita ini sama dengan pita dalam fotografi, bedanya pada kamera foto posisi pita ini horizontal sedangkan pada kamera film posisinya vertikal. Sepanjang sejarahnya, pita ini sudah mengalami banyak modifikasi dari yang tadinya hitam putih menjadi warna, hingga akhirnya juga bisa menangkap suara.
Pita 65mm dan 70mm
Yang terakhir, ada pita dengan ukuran 65 mm dan 70 mm. Tapi kedua jenis pita ini akan memakan biaya produksi yang besar hingga menjadi tidak populer. Di Indonesia pun jarang ada bioskop yang bisa menayangkan format ini, sebab proyektor yang digunakan haruslah proyekor berukuran 70 mm. Film yang menggunakan jenis kamera ini biasanya adalah film-film IMAX.
Sejarah Proyektor
Kamis, 28 Oktober 2010
Sejarah Perfilman di Indonesia
Sejarah
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Film Indonesia Terbaik
![]() |
Film Arisan, salah satu film terbaik di Indonesia |