Jumat, 29 Oktober 2010

Film pertama di Indonesia

Film Pertama Indonesia
Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film bisu ini dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).

Tentang Lutung Kasarung
Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah cerita pantun yang mengisahkan legenda masyarakat Sunda tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung bertemu dengan putri Purbasari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang pendengki, Purbararang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purbasari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama.

Cerita pantun Lutung Kasarung dijadikan bahan disertasi oleh F. S. Eringa yang dibukukan pada tahun 1949.

Film Information

Titles : LOETOENG KASAROENG
Main Director : L. HEUVELDORP
Year : 1927
Actors : MARTOANA, OEMAR
Directors : L. HEUVELDORP
Director Of : G. KRUGERS
Photography


http://id.wikipedia.org/wiki/Lutung_Kasarung

Film Bisu / Warna

Film negatif warna adalah jenis film berwarna yang menghasilkan negatif (klise) dengan gambar yang warna komplemennya berasal dari warna-warna yang terdapat pada obyek. Obyek warna merah akan membentuk cyan (hijau biru) pada film, warna hijau akan terbentuk warna magenta (merah biru), sedangkan obyek warna biru akan terbentuk warna kuning pada film. Dari negatif ini dapat dicetak menjadi foto-foto berwarna (gambar positif).


Yang dimaksud dengan film bisu (silent film) adalah film yang dibuat tanpa menggunakan perekaman suara terutama dalam dialog. Penonton “dipaksa” untuk memahami alur cerita itu melalui gerakan tubuh dari pemain film dan tulisan yang muncul disela-sela gambar seperti layaknya baca komik dyang isinya beberapa dialog dari film tersebut.
Sedangkan ilustrasi musik film tersebut dimainkan secara langsung bersamaan dengan diputarnya film, biasanya secara solo (hanya terdapat pemain piano/organ) atau sebuah mini orkestra. Mereka memainkan irama musik itu disesuaikan dengan adegan-adegan yang nampak pada layar, jadi bisa dibayangkan betapa repotnya untuk menonton atau mempertunjukkan sebuah film pada era film bisu hehehehe….




http://misteridigital.wordpress.com/2010/10/12/film-bisu/

Sejarah Pita Seluloid


Di jaman sekarang, kebanyakan orang mengenal film sebagai media yang dibuat secara digital. Padahal film diawali oleh teknologi pita filmseluloid, bahkan sebenarnya di jaman sekarang pita film seluloid ini masih dipergunakan oleh banyak pembuat film yang serius di bidangnya.
Bila ditinjau dari bahannya, seluloid adalah sejenis plastik yang berbahan nitroselulosa. Karena itu bahan ini jadi mudah terbakar, bahkan kecepatan bakarnya lebih cepat dari kertas. Seluloid ditemukan pada tahun 1868. Selain pada pita film, bahan ini bisa ditemukan juga pada film untuk kamera foto dan bola pingpong.
Dalam penggunaannya, pita seluloid tidak bisa merekam gambar secara langsung, diperlukan media rekam lain yaitu DAT (Digital Audio Tape) untuk melakukan perekaman gambar. Dalam industri film, Anda mengenal beberapa jenis pita film seluloid, meski sebenarnya bila membicarakan ukuran pita seluloid, maka pembicaraan juga kerhubungan dengan tipe kameranya, karena pita seluloid memerlukan kamera khusus untuk mengoperasikannya.
Pita 8 mm
Pita ini dibuat untuk kamera khusus yang dikembangkan oleh Eastman Kodak pada tahun 1932 dengan tujuan bagi para pengguna rumahan. Maka dari itu produksi film dengan pita 8 mm dihitung lebih murah daripada ukuran yang lain.
Ukuran 8 mm itu mengacu pada jarak diagonal tiap frame pita. Rata-rata pita film seluloid jenis ini mampu merekam antara 3 -5 menit, dan bergerak pada kecepatan 12, 15, 16, dan 18 frame per detik.

Pita 16 mm
Pita ini juga digunakan untuk kamera yang dibuat oleh Eastman Kodak pada tahun 1923. Ternyata proses film dengan pita ini cukup disukai oleh para pembuat film, terutama yang anggaran dananya ketat. Ukuran 16 mm itu mengacu pada jarak diagonal tiap frame pita.
Sementara itu di Indonesia, penggunaan pita film inilah yang banyak ditemukan. Variasi lain dari pita ini adalah ukuran Super 16 mm. Perbedaannya hanyalah ukuran diagonal framenya yang lebih besar dari pita 16 mm.

Pita 35 mm
Pita ini ditemukan oleh William Dickson dan Thomas Edison. Inilah jenis pita yang menjadi favorit banyak pekerja film dan menjadi standar industri film saat ini. Terutama karena kualitas gambar pita jenis ini masih jadi yang terbaik dibanding jenis lain.
Ukuran pita ini sama dengan pita dalam fotografi, bedanya pada kamera foto posisi pita ini horizontal sedangkan pada kamera film posisinya vertikal. Sepanjang sejarahnya, pita ini sudah mengalami banyak modifikasi dari yang tadinya hitam putih menjadi warna, hingga akhirnya juga bisa menangkap suara.

Pita 65mm dan 70mm
Yang terakhir, ada pita dengan ukuran 65 mm dan 70 mm. Tapi kedua jenis pita ini akan memakan biaya produksi yang besar hingga menjadi tidak populer. Di Indonesia pun jarang ada bioskop yang bisa menayangkan format ini, sebab proyektor yang digunakan haruslah proyekor berukuran 70 mm. Film yang menggunakan jenis kamera ini biasanya adalah film-film IMAX.

Sejarah Proyektor

Over Head Proyektor/ Over Head Transparansi yang pertama digunakan untuk identifikasi polisi bekerja. Itu menggunakan plastik roll over a 9-inch memungkinkan karakteristik wajah tahap untuk menjadi menggelinding di panggung. The US Army pada tahun 1945 adalah yang pertama menggunakannya dalam kuantitas untuk pelatihan sebagai Perang Dunia II luka bawah. Mulai digunakan secara luas di sekolah-sekolah dan bisnis di akhir 1950-an dan awal 1960-an. 
Produsen utama overhead projector dalam periode awal ini adalah perusahaan 3M. Sebagai permintaan proyektor tumbuh, Buhl Industri didirikan pada tahun 1953, dan menjadi kontributor terkemuka AS selama beberapa penyempurnaan optik untuk proyektor overhead dan lensa proyeksi. Pada tahun 1957, Amerika Serikat pertama untuk Pendidikan Federal Aid Program mendorong penjualan overhead proyektor yang tetap tinggi hingga akhir 1990-an dan ke abad 21. 
Pada awal 1980-an 1990-an, overhead projector sering digunakan sebagai bagian dari kelas layar komputer/sistem proyeksi. Sebuah panel kristal cair dipasang pada bingkai plastik diletakkan di atas proyektor overhead dan dihubungkan ke output video komputer, sering membelah dari output monitor normal. Sebuah kipas pendingin dalam bingkai panel LCD akan meniup pendingin udara di LCD untuk mencegah overheating yang akan kabut gambar. 
Yang pertama adalah panel LCD monokrom-only, dan dapat menampilkan video output NTSC seperti dari Apple II komputer atau VCR. Pada akhir 1980-an model warna menjadi tersedia, mampu "ribuan" warna (16-bit warna), untuk warna Macintosh dan VGA PC. Yang menampilkan tidak pernah sangat cepat untuk menyegarkan atau memperbarui, mengakibatkan mengolesi dari gambar yang bergerak cepat, tapi itu diterima ketika tidak ada lagi yang tersedia.

Kamis, 28 Oktober 2010

Sejarah Perfilman di Indonesia

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady. 


Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.

Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.

Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.

Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.

Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.

Sejarah

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

 

Film Indonesia Terbaik

Film Arisan, salah satu film terbaik di Indonesia

 

Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa. Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan Widjaya (wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior), Ipik Tanojo (Bali Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan (pengamat film), Noorca M. Massardi (wartawan film senior), Yudhistira Massardi (Gatra), Leila S. Chudori (Tempo), Frans Sartono (Kompas), Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman (Suara Pembaruan), Taufiqurrahman (The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika (Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen), Telni Rusmitantri (Cek n Ricek), Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang Prakasa (Movie Monthly), Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo), dan Ekal Prasetya (Seputar Indonesia). Ke-25 Film tersebut adalah:
 

Tjoet Nja’ Dhien (1986)
Naga Bonar (1986)
Ada Apa dengan Cinta? (2001)
Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Badai Pasti Berlalu (1977)
Arisan! (2003)
November 1828 (1978)
Gie (2005)
Taksi (1990)
Ibunda (1986)
Tiga Dara (1956)
Si Doel Anak Betawi (1973)
(Cintaku di) Kampus Biru (1976)
Doea Tanda Mata (1984)
Si Doel Anak Modern (1976)
Petualangan Sherina (1999)
Daun di Atas Bantal (1997)
Pacar Ketinggalan Kereta (1988)
Cinta Pertama (1973)
Si Mamad (1973)
Pengantin Remaja (1971)
Cintaku di Rumah Susun (1987)
Gita Cinta dari SMA (1979)
Eliana, Eliana (2002)
Inem Pelayan Sexy (1977)
     

    sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Perfilman_Indonesia